Tersebutlah seorang lelaki shaleh yang bersih hatinya.Ia memiliki seorang anak lelaki, mesti masih kecil tapi cerdasnya luar biasa,fasih bicara pula.Sang Bapak acapkali duduk bercengrama dengan anak semata wayangnya.Mereka bicara apa saja.
Hebatnya , disaat bercengrama itu pembicaraan mereka tak nampaknya laiknya pembicaraan antara seorang bapak dengan anaknya. Tapi mereka ngobrol layaknya sepasang teman akrab saja. Bagi mereka , perbedaan umur yang terpaut amat jauh seumpama tirai halus dari sutra yang gampang saat dihembus angin. Ia tak mampu menjadi penghalang untuk saling berbicara dan saling memahami dari hati ke hati. Mereka sama-sama paham bagaimana mereka saling bersikap dan saling menghormati. Sederhananya, mereka tetap sadar posisinya masing-masing. Luar biasa memang cara mereka membangun komunikasi.
“Anakku, puji syukur hanya milik Allah SWT, Bagiku engkau adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada-ku” kata Sang Bapak suatu hari.
“Duhai Bapakku tercinta, berkali-kali engkau menyebut nama Allah dihadapanku, tapi engkau tak pernah memperlihatkan Allah kepadaku. Sesungguhnya seperti apakah Allah itu, dan bisakah engkau lihatkan Allah padaku?” Sahut sang anak penasaran.
“Duhai Bapakku tercinta, berkali-kali engkau menyebut nama Allah dihadapanku, tapi engkau tak pernah memperlihatkan Allah kepadaku. Sesungguhnya seperti apakah Allah itu, dan bisakah engkau lihatkan Allah padaku?” Sahut sang anak penasaran.
Sang Bapak kaget. Ia seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan anaknya, “Anakku, apa yang barusan kau katakan?”
Kata-kata sang Bapak itu keluar dari mulutnya bagai perkataan seorang lelaki dewasa yang disergap ketidakpahaman, kebingungan , dan ketidakpercayaan. Sementara ucapan sang anak adalah pertanyaan seorang anak kecil lugu tapi cerdas, yang segera meminta jawaban. Padahal jawaban atas pertanyaan itu pastilah sederhana dan sulit adanya. Sang Bapak bingung harus menjawab bagaimana. Ia terdiam dalam duduk yang menunduk. Ia masih tidak percaya dengan perkataan anaknya. Ia yakinkan dirinya dengan kembali menatap anaknya seraya berkata, “Apakah engkau ingin agar Bapak memperlihatkan Allah kepadamu, anakku?”
Perkataan sang Bapak itu lirih sekali seolah ia hanya berbisik pada dirinya sendiri. Tapi rupa-rupanya pendengaran sang anak masih sangat sempurna. Meski lirih , ia mampu menangkap perkataan bapaknya dengan baik.
“Benar Bapak . Tolong lihatkan Allah padaku!” serius sekali anak itu memohon bapaknya. Sang Bapak makin kelimpungan. Dalam kondisi seperti itu Sang Bapak tak bisa berbuat apa-apa selain berkata jujur pada anaknya bahwa ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Anakku, bagaimana aku mampu memperlihatkan kepadamu sesuatu yang bahkan aku sendiri belum pernah melihatnya”, katanya.
“Kenapa Bapak belum melihat-Nya?”
“Anakku, Bapak belum pernah berpikir tentang hal yang kau tanyakan itu sebelumnya!”
“Baiklah! Bagaimana jika sekarang aku minta Bapak pergi melihat Allah. Setelah melihat-Nya, baru Bapak memperlihatkan Allah padaku!”
“Baik. Bapak akan melakukannya untukmu, Anakku!”
Sang Bapak yang tengah dilanda kebingungan itu pergi berkeliling kota . Ia bertanya pada setiap orang yang di jumpainya. Tapi ia tak mendapatkan apa-apa dari mereka selain olok-olokan yang menyakitkan. Mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi, sehingga mereka tak bakalan sempat berusaha mencari apalagi menemukan Allah.
Sang Bapak pantang berputus asa . Tak kurang akalnya berputar, ia menemui para ahli agama untuk meminta jawaban atas pertanyaan anaknya. Namun , semua ahli agama itu malah menyudutkannya dengan teks-teks suci yang mereka hafal dalam bahasa agama.
Sebersit putus asa sempat hinggap di benaknya. Wajahnya nampak murung karena ia tidak juga memperoleh jawaban, bahkan dari kalangan para ahli agama yang selama ini dianggapnya serba paham soal agama dan Ketuhanan. Gontai sekali ia meninggalkan mereka. Ia nampak linglung. Ia turuti kemana kakinya melangkah menapaki setiap jengkal jalanan kota sembari bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ia bertanya-tanya apakah ia pulang menemui anaknya dengan tangan hampa tanpa membawa jawaban yang diinginkan sang anak tercinta.
Ia terus menelusuri jalanan kota
Disalah satu sudut kota ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang sudah tua renta, ia berkeluh kesah pada lelaki itu, dan setelah mendengar kisahnya, lelaki renta itu berkata “Tuan pergilah engkau ke pinggir kota sana disana engkau akan mendapati seorang ahli ibadah yang sudah renta sepertiku, ia sangatlah luar biasa sebab setiap kali memohon kepada Allah permohonannya pasti dikabulkan. Barang kali engkau dapat menemukan apa yang kau cari itu padanya”.
Tanpa pikir panjang bergegaslah ia menemui sang ahli ibadah yang ditunjukan lelaki renta itu, ia pun berhasil menemuinya.
“Tuan saya datang kesini karena suatu hal saya berharap tuan tidak membuat saya pulang dengan tampa hampa”
Apa keperluannmu kisanak? Sampaikanlah kepadaku tanpa malu-malu”Tanya sang ahli ibadah dengan lemah lembut.
“Begini tuan saya berharap tuan bisa memperlihatkan Allah padaku”
Sejenak sang ahli ibadah terdiam ia menundukkan kepalanya sambil mengusap-usap jenggotnya yang lebatyang sudah memutih, ” Apakah kau tahu makna ucapanmu itu kisanak?”
“Tentu saya ingin agar tuan memperlihatkan Allah padaku”
“Kisanak sungguhnya Allah itu tidak akan bisa dilihat dengan perangkat penglihatan kita yang kasar. Ia juga tidak bisa dilihat dengan kepekaan indera-indera tubuhkita. Kutanyakan padamu, apakah engkau akan mengukur kedalaman laut dengan jemari yang biasa kau gunakan untukmengukur kedalaman air dalam gelas?”kata sang ahli dengan lembut.
“Kalau begitu bagaimana saya dapat melihat Allah , Tuan?”
“Bila ia tersingkap bagi ruhmu.”
“ Kapan ia bisa tersingkap bagi ruhku?”
“Saat engkau memperoleh cintanya.”
Segera ia bersujud hingga tanah menempel pada keningnya, lalu ia raih tangan sang ahli ibadah itu seraya berkata.”Wahai tuan yang ahli ibadah tolong mintakanlah pada Allah agar ia memberiku sesuatu dari cintanya!
Sang ahli ibadah mengelus tangannya dengan lembut. Ia kemudian berkata “Kisanak tawadu’lah rendahkanlah dirimu dihadapan Allah dan mintalah yang lebih sedikit dari itu!
“Kalau begitu mintakan aku barang sedirham saja dari cintanya!?’
“Engkau terlalu serakah kisanak permintaanmu itu terlalu banyak”
“Seperempat dirham?”
“Tawadu’lah pada Allah”
“Bagaimana kalau sebesar dzarrah saja”
“Ketahuilah kisanak engkau tidak akan mampu memikul cinta Allah yang sebesar dzarrah itu”
“Baiklah mintakan aku setengah dzarrah saja”
“Tapi itu juga masih besar”
“Ah taka pa-apa barangkali”
Sejurus kemudian sang ahli ibadah itu mendongakkan kepalanya ke langit, ia tengadahkan kedua tangannya sambil berdoa “ Duhai Tuhan anugrahkan padanya setengah dzarrah dari cintamu”
Tak lama kemudian lelaki yang meminta di doakan itu segera angkat kaki ia pergi entah kemana.
Suatu hari sang ahli ibadah kedatanga dua orang tamu seorang perempuan tengah baya dan seorang bocah kecil. Dan ternyata tamu itu adalah istri dan anak dari lelaki yang tempo hari menemuinya. Kepada sang ahli ibadah mereka bercerita bahwa mereka kehilangan seorang anggota keluarga yang menghilang beberapa hari ya.”ng lalu, sejak pergi ia juga belum kembali.
“Kami kehilangan jejaknya ia hilang seolah-olah lenyap di telan bumi. Tak ada seorangpun yang tahu kabar keberadaannya sekarang” kata tamu si perempuan.
Usai mendengar cerita mereka sang ahli ibadah itu segera mengajak tamunya pergi mencari lelaki yang di ceritakan sang tamu. Berhari-hari mereka mencari bersama-sama hingga sampailah mereka di sebuah lereng yang jauh dari kota. Disana mereka bertemu dengan sekolompok pengembala yang kebetulan pernah melihat lelaki yang cirri-cirinya sesuai dengan yang mereka ceritakan.
“Lelaki itu sudah gila ia pergi kegunung-gunung dan sekarang ia sedang berada di gunung itu”
“Tanpamenunda-nunda mereka segera pergi menuju tempat yang ditunjukan para gembala itu, benar disana mereka mendapati lelaki itu tengah berdiri diatas batu besar, kepalanya mendongkak ke atas menatap langit, mereka mengucap salam kepadanya tetapi ia tidak menjawab.
“Kisanak berpalinglah padaku aku adalah orang kauminta berdoa waktu itu kata sang ahli ibadah mendekatinya.
“Tapi lelaki itu masih saja bungkam ia tak bergeming. Lalu anak lelakinya maju beberapa langkah mendekatinya ia berkata” Duhai bapak apakah engkau tidak lagi mengenaliku”
Lelaki itu masih diam ia tetap tak beranjak dari temppatnya. Gantian istrinya yng mendekatinya. Ia berusaha mati-matian menyadarkan suaminya. Ia terus berteriak mengitari suaminya tanpa lelah tapi semuanya sia-sia.
“Melihat hal itu sang ahli ibadah hanya tergeleng-geleng kepala. Tak beberapa lama ia kemudian berkata “ Sia-sia saja kalian berbuat begitu. Bagaimana mungkin orang yang didalam hatinya terdapat cinta Allah mendengar perkataan manusia. Meski cinta itu hanya sebesar setengah dzarraah ,dan demii Allah andaikan kalian tebas lehernya ia tak akan merasakannya.
Mendengar omongan sang ahli ibadah sang anak tiba-tiba berkata “Semua ini salahku, akulah yang meminta bapak agar memperlihatkan Allah padaku.”
Sang ahli ibadah berpaling ia tatap mata sang anak lekat-lekat, kemudian ia berkata dengan lembut seolah-olah ia berkata-kata pada dirinya sendiri, “ Aduhai, tidakkah engkau saksikan setengah dzarrah saja dari cinta Allah sudah cukup mampu meremukkan tata susunan manusiawi kita. Ia bahkan meluluhlantahkan bangunan akal kita.!”
( Karya : Dr Taufiq El Hakim )
~ Violet Senja~