Warâ’ secara bahasa berasal dari wari’a – yari’u–wara’[an]; artinya al-kaff (mencukupkan diri dari sesuatu) dan al-‘iffah (menahan diri dari sesuatu yang tidak seharusnya); bisa juga artinya taharruj (menahan diri dari—atau menjauhi—sesuatu).
Menurut Ibn al-Atsir di dalam An-Nihâyah, wara’ pada asalnya adalah mencukupkan diri dari apa-apa yang haram dan menjauhinya, lalu juga digunakan untuk menyebut: mencukupkan diri dari apa saja yang mubah dan halal.
Rasul saw. pernah bersabda: Menurut Ibn al-Atsir di dalam An-Nihâyah, wara’ pada asalnya adalah mencukupkan diri dari apa-apa yang haram dan menjauhinya, lalu juga digunakan untuk menyebut: mencukupkan diri dari apa saja yang mubah dan halal.
فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ، وَخَيْرُ دِيْنُكُمْ اَلْوَرَعُ
Keutamaan ilmu lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah dan sebaik-baik agama kalian adalah wara’ (HR al-Hakim, ath-Thabarani dan al-Bazzar).
Nabi saw. juga pernah berpesan kepada Abu Hurairah ra. (juga kepada kita):
كُنْ وَرَعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
Jadilah orang yang wara’, niscaya kamu menjadi manusia yang paling tunduk dan patuh (HR Ibn Majah, at-Tirmidzi, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).
Lalu wara’ yang disyariatkan itu seperti apa? Sejumlah ulama mendefinisikan wara’ sebagai berikut:
• Wara’ adalah meningalkan semua syubhat, meninggalkan semua yang tidak bermanfaat bagi Anda dan meninggalkan apa saja yang lebih (dari mencukupi) (Ibrahim bin Adham).
• Wara’ adalah menjauhi syubhat karena khawatir terjatuh di dalam yang haram (Sayid al-Jurjani di dalam At-Ta’rîfât).
• Wara’ adalah meninggalkan apa saja yang ditakutkan bahayanya di akhirat (Imam Ibn al-Qayim di dalam Madârij as-Sâlikîn).
• Wara’ adalah wara’ dari apa-apa yang ditakutkan akibatnya (di akhirat), yaitu apa-apa yang telah jelas keharamannya dan dari apa saja yang masih diragukan keharamannya dan jika ditinggalkan tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar daripada bila dilakukan (Imam Ibn Taimiyah).
• Wara’ dalam istilah syar’i adalah meninggalkan apa-apa yang meragukanmu, menghilangkan apa saja yang bisa mendatangkan aib bagimu, mengambil yang lebih dipercaya (diyakini) dan membawa diri pada yang paling hati-hati (Syaikh Shalih bin Munjid).
Meninggalkan apa-apa yang haram merupakan keharusan setiap Muslim. Setiap Muslim juga harus sekuat mungkin meninggalkan apa saja yang makruh. Ini merupakan sikap dasar setiap Muslim.
Sikap wara’ merupakan sikap utama yang mengantarkan seorang Muslim meraih derajat yang mulia. Rasul saw. memberikan petunjuk tentang bagaimana seorang Muslim bersikap wara’:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Malik, Ahmad, Ibn Hibban dan al-Baihaqi)
Imam Ibn al-Qayim menjelaskan bahwa hadis ini bersifat umum mencakup meninggalkan semua yang tidak bermanfaat baik berbicara, melihat, mendengar, memegang, berjalan, berpikir dan seluruh gerakan lahir maupun batin. Hadis ini telah cukup dan menyeluruh menjelaskan tentang wara’.
Ini adalah sikap wara’ paling tinggi yang oleh Imam al-Ghazali disebut wara’ ash-shiddiqîn, yaitu meninggalkan hal mubah yang tidak bermanfaat dalam menguatkan ibadah atau ketaatan.
Muslim yang memiliki wara’ pada tingkatan ini akan selalu bertanya pada dirinya sendiri, “Adakah manfaat bagiku untuk menguatkan ibadah, melakukan ketaatan dan meningkatkan taqarrub kepada Allah jika aku mengkonsumsi, menggunakan atau melakukan hal mubah ini?” Jika tidak ada, hal mubah itu pun ia tinggalkan. Ini seperti Rasul saw. yang tidak mau tidur menggunakan alas yang empuk dan lebih memilih tidur beralaskan tikar tipis agar mudah bangun untuk shalat malam; seperti sikap Umar bin al-Khaththab ra. yang tidak mau makan roti karena Rasul saw. dan Abu Bakar dulu tidak memakannya; juga seperti sikap orang yang sedikit makan, menghindari makanan berlemak, kue, dsb, agar tidak kegemukan sehingga bisa shalat tahajud dan melakukan ketaatan dengan baik.
Wara’ pada tingkatan di bawahnya adalah wara’-nya muttaqîn, Rasul saw. bersabda:
لاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ
Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqîn hingga ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermasalah karena takut terhadap apa-apa yang bermasalah (HR Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).
Maknanya yaitu meninggalkan hal-hal yang jelas halal/tidak ada kesamaran atau keraguan, namun khawatir nanti bisa terjerumus pada yang haram. Di sinilah sebagian Sahabat ra. berkata, “Kami meninggalkan 70 hal yang halal untuk menjaga diri agar tidak terjatuh pada satu saja hal yang haram.”
Sikap ini seperti Rasul saw saat menemukan sebutir kurma di jalan, saat beliau hendak mamakannya lalu beliau urungkan karena khawatir itu adalah kurma sedekah; seperti sikap seorang guru, pemimpin kelompok atau atasan yang menolak hadiah meskipun kecil yang berasal dari murid, orangtua murid, pengikut atau bawahan karena khawatir dengan itu ia tidak lagi bersikap obyektif atau tidak bisa bersikap tegas atau yang selayaknya karena merasa hutang budi; seperti sikap enggan memakai pakaian mahal karena khawatir akan berbangga diri; atau seperti sikap enggan berutang kepada orang yang hartanya harta haram atau dari aktivitas yang haram; dan sebagainya.
Wara’ yang terendah wara’-nya orang shalih, Rasul saw. bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ …
Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat); banyak orang tidak mengetahuinya. Siapa saja yang menjaga diri dari syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Siapa saja yang jatuh di dalam syubhat, ia hampir terjatuh pada yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar hima (daerah terlarang) hampir-hampir ia (terjatuh) menggembala di dalamnya … (HR Bukhari dan Muslim).
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ …
Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa-apa yang tidak meragukanmu (HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, ad-Darimi dan Ibn Khuzaimah)
Menurut Sufyan bin Uyainah, sikap wara’ ini adalah yang paling mudah, yaitu jika Anda ragu tentang sesuatu apakah halal atau haram, maka tinggalkan. Syaratnya adalah kemungkinan haram itu memang mungkin atau di dalamnya mungkin terjadi yang haram. Jika tentang sesuatu benda atau perbuatan ada pendapat yang menyatakan halal dan ada yang menyatakan haram, sementara bagi kita belum jelas mana yang lebih kuat sehingga belum jelas halal, maka hendaknya kita menahan diri tidak mengambilnya hingga jelas kehalalannya berdasarkan tarjih yang syar’i.
Namun, sikap wara’ tidak boleh karena was-was yang tak berdasar (wara’ al-muwaswasîn), misalnya tidak mau berdempetan tembok dengan tetangga takut akan terjadi zina atau nguping pembicaraannya. Juga tidak boleh wara’ yang dibuat-buat (wara’ al-mutanaththi’în) seperti tidak mau shalat di atas sajadah milik seseorang yang punya anak kecil karena takut jangan-jangan kena pipis anak itu dan belum dicuci. Sikap seperti ini muncul lebih karena prasangka buruk sehingga wara’ seperti ini justru tidak boleh.
Untuk bersikap wara’, sebelum mengambil dan menggunakan atau melakukan sesuatu hendaklah: Pertama, memastikan atau setidak-nya mencari ghalabah zhan bahwa sesuatu itu halal. Jika belum jelas, tinggalkan. Kedua, memastikan atau setidaknya ghalabah zhan bahwa di dalam sesuatu itu tidak ada hak orang lain. Jika ada dapatkan izin dan kerelaannya. Jika tidak, tinggalkan. Ketiga, bertanya pada diri sendiri: apakah ini menguatkan ibadahku, meningkatkan ketaatanku, memperbesar pengorbananku, menambah taqarrub-ku? Jika tidak, lebih baik tinggalkan untuk mengambil yang jawabannya: ya.
Dengan demikin, sikap wara’ merupakan sikap kritis dan antisipasi diri terhadap apapun yang bisa menjadi aib; mengedepankan kehati-hatian bertindak; keluar dari yang samar menuju yang jelas; meninggalkan yang meragukan menuju yang tak meragukan; tidak memperturutkan keinginan, tetapi mengambil sesuai yang dibutuhkan atau sekadarnya; mengambil hal mubah untuk menguatkan ibadah, meningkatkan ketaatan, memperbesar pengorbanan, dan manambah taqarrub kepada Allah.
Jadi, sikap wara’ harus dibangun atas dasar ilmu syariah dan pemahaman atas fakta, bukan karena was-was atau prasangka. Sikap wara’ itu tumbuh karena iman yang terus hidup di dada, harapan pada keridhaan Allah yang terus bersemi dan rasa takut yang terus menyala terhadap azab-Nya akibat keharaman meski sangat kecil atau sedikit.
Karena itu, tidak aneh jika sikap wara’ melahirkan pribadi-pribadi yang menakjubkan, mendekatkan pemiliknya sedekat mungkin dengan sosok pribadi Rasulullah saw.
Allâhummaj’alnâ min al-wâri’în az-zâhidîn al-muttaqîn [Yahya Abdurrahman]
Sumber : hizbut-tahrir.or.id
by : Kang Maman S Wara’ pada tingkatan di bawahnya adalah wara’-nya muttaqîn, Rasul saw. bersabda:
لاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ
Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqîn hingga ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermasalah karena takut terhadap apa-apa yang bermasalah (HR Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).
Maknanya yaitu meninggalkan hal-hal yang jelas halal/tidak ada kesamaran atau keraguan, namun khawatir nanti bisa terjerumus pada yang haram. Di sinilah sebagian Sahabat ra. berkata, “Kami meninggalkan 70 hal yang halal untuk menjaga diri agar tidak terjatuh pada satu saja hal yang haram.”
Sikap ini seperti Rasul saw saat menemukan sebutir kurma di jalan, saat beliau hendak mamakannya lalu beliau urungkan karena khawatir itu adalah kurma sedekah; seperti sikap seorang guru, pemimpin kelompok atau atasan yang menolak hadiah meskipun kecil yang berasal dari murid, orangtua murid, pengikut atau bawahan karena khawatir dengan itu ia tidak lagi bersikap obyektif atau tidak bisa bersikap tegas atau yang selayaknya karena merasa hutang budi; seperti sikap enggan memakai pakaian mahal karena khawatir akan berbangga diri; atau seperti sikap enggan berutang kepada orang yang hartanya harta haram atau dari aktivitas yang haram; dan sebagainya.
Wara’ yang terendah wara’-nya orang shalih, Rasul saw. bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ …
Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat); banyak orang tidak mengetahuinya. Siapa saja yang menjaga diri dari syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Siapa saja yang jatuh di dalam syubhat, ia hampir terjatuh pada yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar hima (daerah terlarang) hampir-hampir ia (terjatuh) menggembala di dalamnya … (HR Bukhari dan Muslim).
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ …
Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa-apa yang tidak meragukanmu (HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, ad-Darimi dan Ibn Khuzaimah)
Menurut Sufyan bin Uyainah, sikap wara’ ini adalah yang paling mudah, yaitu jika Anda ragu tentang sesuatu apakah halal atau haram, maka tinggalkan. Syaratnya adalah kemungkinan haram itu memang mungkin atau di dalamnya mungkin terjadi yang haram. Jika tentang sesuatu benda atau perbuatan ada pendapat yang menyatakan halal dan ada yang menyatakan haram, sementara bagi kita belum jelas mana yang lebih kuat sehingga belum jelas halal, maka hendaknya kita menahan diri tidak mengambilnya hingga jelas kehalalannya berdasarkan tarjih yang syar’i.
Namun, sikap wara’ tidak boleh karena was-was yang tak berdasar (wara’ al-muwaswasîn), misalnya tidak mau berdempetan tembok dengan tetangga takut akan terjadi zina atau nguping pembicaraannya. Juga tidak boleh wara’ yang dibuat-buat (wara’ al-mutanaththi’în) seperti tidak mau shalat di atas sajadah milik seseorang yang punya anak kecil karena takut jangan-jangan kena pipis anak itu dan belum dicuci. Sikap seperti ini muncul lebih karena prasangka buruk sehingga wara’ seperti ini justru tidak boleh.
Untuk bersikap wara’, sebelum mengambil dan menggunakan atau melakukan sesuatu hendaklah: Pertama, memastikan atau setidak-nya mencari ghalabah zhan bahwa sesuatu itu halal. Jika belum jelas, tinggalkan. Kedua, memastikan atau setidaknya ghalabah zhan bahwa di dalam sesuatu itu tidak ada hak orang lain. Jika ada dapatkan izin dan kerelaannya. Jika tidak, tinggalkan. Ketiga, bertanya pada diri sendiri: apakah ini menguatkan ibadahku, meningkatkan ketaatanku, memperbesar pengorbananku, menambah taqarrub-ku? Jika tidak, lebih baik tinggalkan untuk mengambil yang jawabannya: ya.
Dengan demikin, sikap wara’ merupakan sikap kritis dan antisipasi diri terhadap apapun yang bisa menjadi aib; mengedepankan kehati-hatian bertindak; keluar dari yang samar menuju yang jelas; meninggalkan yang meragukan menuju yang tak meragukan; tidak memperturutkan keinginan, tetapi mengambil sesuai yang dibutuhkan atau sekadarnya; mengambil hal mubah untuk menguatkan ibadah, meningkatkan ketaatan, memperbesar pengorbanan, dan manambah taqarrub kepada Allah.
Jadi, sikap wara’ harus dibangun atas dasar ilmu syariah dan pemahaman atas fakta, bukan karena was-was atau prasangka. Sikap wara’ itu tumbuh karena iman yang terus hidup di dada, harapan pada keridhaan Allah yang terus bersemi dan rasa takut yang terus menyala terhadap azab-Nya akibat keharaman meski sangat kecil atau sedikit.
Karena itu, tidak aneh jika sikap wara’ melahirkan pribadi-pribadi yang menakjubkan, mendekatkan pemiliknya sedekat mungkin dengan sosok pribadi Rasulullah saw.
Allâhummaj’alnâ min al-wâri’în az-zâhidîn al-muttaqîn [Yahya Abdurrahman]
Sumber : hizbut-tahrir.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar