‘Umar bin Abdul ‘Aziz pernah meminta izin kepada sang isteri, Fatimah, untuk menikah lagi dengan seorang gadis yang dicintainya. Namun Fatimah menolak permintaan sang suami atas nama cinta dan cemburu yang membakar hatinya. ‘Umar begitu mencintai sang gadis, namun ia juga sangat mencintai isterinya. Kecintaan itulah yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk menikahi gadis itu. Meskipun jika ia mau, tanpa izin sang isteri pun ia bisa menikahi sang gadis.
Kewajibannya sebagai khalifah dan kesadaran psikologis membuat ‘Umar bekerja dengan segala kezuhudan dan ketundukan kepada Allah. Tiada sedetik baginya untuk melupakan bahwa ia memegang amanah ummat tertinggi di tangan dan pundaknya. Ia bekerja dan bekerja demi ridha Allah. Mensejahterakan rakyat dan memperjuangkan agama Islam. Fisik, harta, jiwa, dan ruh menyatu dan dioptimalkan ‘Umar hingga mencapai batas.
Di kemudian hari ketika kondisi fisik ‘Umar menurun dan tubuhnya sudah sangat kurus karena mengurus rakyatnya, sang isteri datang membawa ‘hadiah’ kepada ‘Umar. Seorang gadis yang dulu ingin dinikahi ‘Umar. Fatimah ingin memberikan dukungan moral kepada suaminya tercinta. Inilah saat terindah bagi ‘Umar, sekaligus mengharu-biru. Kenangan romantikanya dulu kini kembali membakar seluruh jiwanya. Namun cinta itu kini hadir dalam bentuk yang berbeda. Romantisme energi yang hadir kala itu membuatnya memilih.
‘Umar menolak hadiah dari isterinya dan bahkan menikahkan gadis itu dengan pemuda yang lain. Sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya sendu, “Umar, dulu engkau pernah sangat mencintaiku, tapi kemanakah cinta itu sekarang?”
‘Umar bergetar haru kemudian menjawab, “Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!”
Wallahu a'lam bishawwab...
By : Pujangga Miskin Al Ghuroba'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar