~*** Mudik ***~
Seorang mahasiswa tingkat akhir yang mau mengikuti sidang sarjana bergegas pulang kekampung halamannya, karena ibunya sakit keras dan mungkin akan segera meninggal.
Dia terpaksa menunda sidangnya dan di izinkan oleh Universitas karena ia adalah anak satu-satunya yang dimiliki sang ibu yang sebatabg kara, karena ayahnya sudah lama meninggal .
Kepulangannya ke kampung halaman bertepatan pula dengan hari lebaran yang jatuhnya hampir bersamaan.
Ketika ia menuju ruang Gawat Darurat ia melihat sang ibu yang dalam keadaan kritis. Disana sini dipasangi selang selang infuse dan tabung-tabung penyelamat.
“Berapa lama lagi ia bias bertahan?” tanyanya kepada dokter.
“Tidak lebih dari beberapa jam lagi, karena detak jantungnya masih bisa bertahan karena bantuan dari alat-alat tersebut” kata sang dokter sedih.
Mahasiswa tersebut lalu maju mendekati dan memegang tangan ibunya yang sudah mengecil itu sambil berkata pelan. “Bu, saya disini, saya kembali Bu !”
Orang tua yang akan meninggalkan dunia fana ini memegang tangan anaknya. Matanya sudah tidak dapat terbuka lagi untuk memandang sekelilingnya. Akan tetapi, sebersit senyuman yang mekar diwajahnya menunjukkan rasa puas.
Senyuman itu tetap tersungging di bibirnya sampai ia meninggal satu jam kemudian.
Dia pergi meninggalkan dunia ini dengan penuh kebahagiaan, karena keinginannya untuk bersama dengan anak tunggalnya pada detik-detik terakhir dan suasana lebaran terakhir terpenuhi.
Dipihak lain, sang anak juga berbahagia karena bisa menghantarkan sang ibu dalam suasana hari kemenangan yang sudah puluhan kali ia lewati tanpa ibunya.
Mudik merupakan suatu fenomena sosial yang menunjukkan ikatan kekeluargaan yang sangat kental, khususnya di Indonesia .
Beberapa sosiolog memprediksi sekalipun teknologi sudah demikian berkembang dan lebih praktis, namun fenomena mudik tak akan hilang.
Hal ini disebabkan karena mudik bukan hanya sekedar fenomena sosial, melainkan sudah menjadi kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat pada saat menghadapi hari-hari besar agama.
Cendekiawan muslim Nurcholis Majid pernah mengatakan bahwa fenomena mudik merupakan fenomena kembali ke asal.
Kembali ke asal karena disanalah setiap orang menemukan kebahagiaan. Hal ini terbukti dari cerita- cerita pemudik.
Sekalipun mereka harus antri berdesak-desakan untuk memperoleh tiket dan menempuh perjalanan yang macet dan melelahkan namun semua itu akhirnya sirna setelah sampai ditempat tujuan. Kebahagiaan bertemu dengan orang tua dan sanak famili , dalam sekejap telah menghilangkan segala keluhan tentang perjalanan mudik itu sendiri.
“Disinilah seninya mudik !” begitulah komentar para pemudik.
Setelah sekian lama berada dikampung halamannya, maka setiap pemudik mengingat kembali keasal (arus balik) , karena disitulah kebahagiaan muncul melalui perjuangan hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan merenda masa depan yang gemilang.
Bila mudik itu diibaratkan mendekati puncak gunung dan setelah tiba disana tidak bekerja melainkan menikmati pemandangan dan kebersamaan yang menakjubkan.
Namun tidak berlama-lama di puncak gunung karena dalam waktu yang relative singkat harus turun kembali ke lembah karena disanalah lahan kita untuk bercocok tanam.
Mengapa kembali keasal? Karena darisanalah tapak-tapak keberhasilan dimulai.
Disamping itu dari sana pula jalinan cerita-cerita nostalgia masa kecil dan masa remaja di bangun. Cerita itulah yang akan semakin memperkokoh ikatan tali persaudaraan.
John Howard Payne pernah bersenandung melalui lagunya yang sangat terkenal “Ditengah kemewahan dan istana-istana , kemanapun kita mengembara , sekalipun amat sederhana, tidak ada tempat yang lebih indah daripada rumah kita sendiri (home sweet home )
Dipihak lain mereka yang berada dipenghujung kehidupan atau di penghujung karir , menceritakan hal-hal nostalgia kesuksesan masa lalu merupakan kebahagiaan yang luar biasa, ibarat aliran sungai yang tidak habis- habisnya untuk diceritakan secara berulang-ulang.
Mudik , berarti mengingatkan umat manusia untuk suatu saat kembali ke asal, menghadap Sang Khalik. Ketika “lonceng panggilan untuk pulang” sudah berdentang, saatnya manusia bersiap-siap mempertanggungjawabkan seluruh hidupnya dihadapan sang Khalik. Bagi mereka yang telah melakukan hal-hal yang berkenan dan sesuai dengan perintah-perintah-Nya, memenuhi panggilan untuk kembali ke asal menghadap Sang Khalik merupakan kebahagiaan yang sempurna.
Kebanyakan orang yang mudik untuk merayakan hari- hari besar agama biasanya pulang dengan membawa harta hasil jerih payahnya selama bekerja beberapa tahun diperantauan. Hal ini juga sekaligus menjadi prestise yang bersangkutan ketika tiba didaerah asalnya.
Berbeda ketika kita pulang menghadap Sang Khalik, tidak ada harta maupun jabatan yang dibawa. Suatu kebahagiaan yang luar biasa ketika setiap manusia yang dipanggil dapat membawa serta iman, amal perbuatannya , serta buah-buah dari perbuatan cinta terhadap sesama maupun keberanian-keberanian yang pernah dilakukan untuk menegakkan kebenaran .
Mereka yang kembali keasal dengan kemurungan adalah ketika sadar bahwa harta yang dikumpulkan selama ini , ketenaran dan jabatan yang telah digapai akhirnya tinggal dibumi.
Ketika “Buku Kehidupan “ dibuka sang Khalik, namanya tidak tercantum disana karena selama dibumi terlalu sibuk dengan hal-hal yang sifatnya duniawi, lupa mengumpulkan harta spiritual, apalagi untuk mengimplementasikannya.
Mudik , sekaligus mengingatkan apa yang pernah dituturkan CS.Lewis,
“Kalau Anda hidup untuk dunia mendatang, Anda peroleh yang sekarang ini sebagai satu paket. Akan tetapi , kalau anda hanya hidup untuk dunia yang sekarang, Anda kehilangan kedua-duanya.”
Selamat mempersiapkan diri untuk mudik spiritual!
*EZ/19/05/09*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar