oleh : Asy-Syaikh Abu Malik Abdul Hamid Al-Juhani hafizhahullah
Seorang penuntut ilmu, pertama sekali dia memperhatikan perbaikan dirinya sendiri dan senantiasa bersikap lurus, karena dia adalah teladan, baik dalam akhlaqnya maupun sikapnya.
Seorang penuntut ilmu, sangat bersemangat untuk meraih suatu kemanfaatan, bermajelis dengan para pemilik ilmu, pemilik keutamaan dan sifat wara’.
Seorang penuntut ilmu, senantiasa membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat, menjaga waktunya (dari hal-hal yang tidak berguna), hingga engkau tidak melihatnya kecuali selalu mengambil manfaat, berpaling dari perkara yang sia-sia dan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat saja.
Seorang penuntut ilmu, apabila dia berbicara maka dia memberi manfaat dengan perkataannya, jika dia menulis maka dia memberi manfaat dengan tulisannya, hingga orang yang bermajelis dengannya tidak akan pernah kosong dari suatu manfaat.
Seorang penuntut ilmu, menghargai kemulian ilmu dan kedudukan ulama, dia mengambil ilmu dari para ulama, menhormati dan mendoakan mereka serta memohon rahmat untuk (ulama) yang sudah meninggal.
Seorang penuntut ilmu, membenci ghibah dan membenci orang yang suka berghibah, dia juga tidak ridha apabila aib seseorang dibicarakan di depannya.
Engkau lihat seorang penuntut ilmu itu bersikap tawadhu’, tidak mengangkat dirinya melebihi kedudukannya yang sebenarnya, tidak berbangga dengan sesuatu yang tidak dia miliki, tidak tertipu dengan pujian dan sanjungan, tidak meninginkan ketenaran, tidak pula kedudukan di tengah-tengah manusia, karena dia tahu bahwa yang mampu mengangkat dan merendahkan seseorang hanyalah ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala, bukan seorang manusia.
Seorang penuntut ilmu, senantiasa berdakwah dan menasehati kaum muslimin, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar sesuai dengan kaidah-kaidah syari’ah dan tatanan masyarakat.
Engkau lihat seorang penuntut ilmu itu sangat bersemangat dalam menyatukan ummat, merekatkan hati-hati mereka dan membenci perpecahan antara Ahlus Sunnah, karena dia mengetahui bahwa perpecahan itu selalu bersama kebid’ahan dan persatuan selalu menyertai sunnah.
Oleh karenanya dikatakan, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah (persatuan)” dan “Ahlus Bid’ah wal Furqoh (perpecahan)”.
Demikian pula engkau lihat seorang penuntut ilmu selalu menjaga lisannya, dia tidak mengomentari semua gosip dan isu yang tersebar di masyarakat, karena dia tahu bahwa semua perkataan dan perbuatannya akan dihisab.
Seorang penuntut ilmu, memperhatikan maslahat pada setiap perkataan dan perbuatannya, dia tidak membuka pintu (mencontohkan) keburukan bagi manusia, tidak membicarakan perkara yang batil, tidak sibuk dengan permasalahan yang tidak dipahaminya, dia tidak masuk dalam suatu pembicaraan kecuali berdasar ilmu, sehingga dia tahu penyebab masalah yang ada dan apa solusinya.
Benar-benar dia telah menyiapkan jawaban di hadapan ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala kelak (atas semua perkataan dan perbuatannya).
Inilah sebagian sifat penuntut ilmu, semoga ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala menganugarahkan sifat-sifat tersebut kepada kita.
Adapun pecandu internet, keadaannya terbalik, sebagaimana telah dimaklumi dan disaksikan.
Pecandu internet akhlaqnya rendah, suka melanggar kehormatan, menyia-nyiakan waktu tanpa manfaat, menyerang siapa saja tanpa memperdulikan kemuliaan ilmu, umur, kehormatan dan keutamaan.
Dia juga berlagak ‘alim, mencari-cari kekurangan dan kesalahan orang lain, semua itu adalah buah dari mencandu internet secara berlebihan.
Hari dan tahun yang dia lalui kosong tak berarti, hingga akhirnya dia tidak bisa tenang dan tidak membiarkan orang lain tenang.
Maka, jika engkau ingin menjadi penuntut ilmu, jalannya ada di depanmu dan telah jelas bagimu tanda-tandanya.
Namun jika kamu memilih jadi pecandu internet, jalannya juga ada di depanmu, yang dipenuhi dengan kotoran dan najis, maka kotorilah dirimu sesuai kehendakmu.
Akan tetapi janganlah engkau membohongi manusia, sehingga engkau disangka seorang penuntut ilmu!
[**] Nasihat ini beliau tulis sebagai nasihat kepada para penuntut ilmu yang berdakwah via internet, sekaligus sebagai celaan terhadap orang-orang yang suka menyebar kerusakan di internet, mengoyak persatuan Ahlus Sunnah dan membuat lari kaum muslimin dari dakwah yang penuh berkah ini.
~:~:~:~:~:~:~:~:~:~:~:
Tanda-tanda Ilmu Bermanfaat
Salah satu hal yang menyebabkan seseorang rawan kehilangan sifat tawadhu’nya adalah ilmu yang dimiliki.
Karena merasa memiliki ilmu, terkadang seseorang dengan mudah membodoh-bodohkan manusia.
Sebab itulah Al Hafidz Ibnu Rajab dalam karya beliau, Fadhl Ilmi As Salaf ala Ilmi Al Khalaf, memberi penekanan khusus tentang hal ini.
Beliau mengatakan,
”Adapun tanda-tanda ilmu tidak bermanfaat adalah, seseorang tidak memiliki kesibukan kecuali takabbur dengan ilmunya di hadapan manusia. Dan menunjukkan kelebihan ilmunya kepada mereka. Serta merendahkan meraka, untuk meninggikan posisinya terhadap mereka.
Ini merupakah hal yang terburuk dan paling menjijikkan dari yang diperoleh. Bisa jadi ia menisbatkan para ulama sebelumnya sebagai dengan kebodohan, kelalaian dan kealpaan.”
Kemudian beliau mengatakan,
”Adapun tanda-tanda ilmu bermanfaat adalah suudzan terhadap diri sendiri dan husnudzan terhadap para ulama sebelumnya. Mengakui dalam hati dan jiwa terhadap kelebihan para ulama sebelum mereka dibanding dirinya dan ketidakmampuannya menyamai posisi mereka untuk sampai atau mendekati derajat mereka.”
(lihat, Shafhat min Shabri Al Ulama, hal. 378)
Mudah-mudahan kita semua dianugerahi sifat-sifat tawadhu’ dan dijauhkan dari sifat-sifat tercela seperti kibr dan ujub, hingga tercatat sebagai dalam golongan orang-orang yang ilmunya bermanfaat. [tho/hidayatullah.com]
</small>~click this link for the source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar