Kamis, 13 April 2006

Teriakkan Tukang Roti

Setiap pagi sehabis sholat subuh, pukul 5.30 di gang rumah pasti terdengar teriakkan tukang roti, Ti..roti! Ti..roti! nampak penjual roti umur sudah separuh baya. Dulu waktu awal saya tinggal tukang roti itu sudah ada dan selalu lewat di gang rumah saya. Pernah saya ngobrol dengannya, dari saya awal tinggal sampai sekarang tidak ada yang berubah, masih juga menjual roti pak, kata saya. Dia katakan seorang ayah harus berkorban untuk keluarganya, jika saya tidak melakukan ini tentunya anak-anak saya tidak akan bisa menjadi sarjana.

Pengorbanan itu nilai teratas yang ada pada tukang roti itu sehingga memancar diwajah tukang roti biar sudah tua nampak selalu berseri jika bertemu dengan para pembelinya. Namun beberapa hari ini teriakkan tukang roti itu tidak terdengar, saya tanya istri saya, dek..tukang roti kok nggak pernah kedengarannya beberapa pagi ini ya? Iya mas, katanya sih sakit. Sampai pada suatu hari saya mendengarkan bahwa dia telah tiada. Rasa kehilangan menghinggapi diri, terbayang wajahnya yang sederhana. Pengorbanan dan keihlasan adalah dua kata yang melekat pada tukang roti itu. Sayapun kehilangan teriakkan di pagi hari tukang roti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar