Rabu, 13 Agustus 2008

Sholat Yang Bekualitas

Kualitas salat seseorang diukur dari tingkat kekhusyu‘annya. Salat dapat disebut sebagai zikir manakala orang yang salat itu menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan dalam salatnya, karena zikir itu sendiri adalah kesadaran. Lawan dari zikir adalah lalai, oleh karena itu al Qur’an juga mengingatkan orang yang berzikir (salat) agar jangan lalai, wala takun min al ghafilin (Q/7:205). Salatnya orang yang lalai pasti tidak efektip karena tidak komunikatif. Hadis Riwayat Abu Hurairah menyebutkan bahwa betapa banyak orang yang salat, tetapi tidak mem¬peroleh apa-apa selain lelah dan capai, Kam min qa imin hazzuhu min salatihi at ta‘abu wa an nasobu. Salat sebagai zikir bukanlah kata-kata, ruku dan sujud, tetapi dialog, muhawarah dan munajat seorang hamba dengan Tuhannya. Kunci dari muhawarah dan munajat adalah kehadiran hati, hudur al qalb, dalam salatnya. Jadi khusyu‘ adalah hadirnya hati dalam setiap aktifitas salat.

Makna salat terletak pada seberapa besar kehadiran hati di dalamnya.
Imam Gazali dalam Ihya ‘Ulumuddin menyebut enam makna batin yang dapat menyempurnakan makna salat, yaitu; (1) kehadiran hati, (2) kefahaman, (3) ta‘zim, meng¬agungkan Allah, (4) segan, haibah, (5). Berharap, raja, dan (6) malu.

Di samping enam hal yang bersifat maknawi, bagi orang awam masih membutuhkan situasi fisik yang kondusip untuk salat, agar perhatiannya tidak terpecah sehingga hatinya dapat hadir. Bagi orang yang sudah kuat konsentrasinya, maka lingkungan fisik tidak lagi menjadi stimulus yang mengganggu, apa yang bagi orang awam, sesuatu yang terdengar, yang terlihat, justeru lebih menarik perhatiannya, lupa kepada Tuhan yang sedang diajak berbicara. Demikian juga bagi orang yang terlalu banyak problem yang tidak halal, ruang gelap, ruang kosong, menutup mata dan menutup telinga tidak akan membantu mengkonsentrasikan hatinya kepada Tuhan, karena dua hal itu merupakan hal yang bertentangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar