Kamis, 16 Juli 2009

Butir-Butir Airmata

Acara outbond belum selesai namun ada salah seorang anak Amalia sakit. AKhirnya saya bilang, Adek boleh pulang dulu deh. Malam harinya saya mengantar Rumah Sakit Medika Lestari. Ibunya menangis, anaknya menangis dari naik motor sampai di Rumah Sakit. Setelah mendaftar kami menunggu.

Batuk-batuknya terdengar keras, Saya membelikan balsem. Tak lama kemudian saya mengantarkan balsem yang dibutuhkannya. 'Dek, Mamah sayang kamu.' tutur ibunya. Sejak ayahnya meninggal karena sakit ibunya bekerja untuk menghidupi anak dan neneknya. Tinggal dalam kontrakan, toh hidupnya penuh syukur. Sesekali ibunya datang ke Rumah Amalia sekedar bersilaturahmi. 'Kebahagiaan itu ada didalam hati, kak agus.' tuturnya pada waktu itu.

Kebahagiaannya merupakan kebahagiaan kami. Dari kecil bahkan sebelum sekolah, saya sudah mengajarnya mengaji. Ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. kalo anak-anak umumnya suka bermain bersama teman-temannya, dia malah suka memilih untuk belajar mengaji.

Setelah itu tak lama kemudian giliran kami dipanggil. Dokter memeriksa tubuhnya. Sakitnya karena alergi. Dokter mengingatkan agar tidak makan pedas dan es sebab itu langsung berdampak kepada kesehatan tubuhnya. Tubuhnya yang ringkih terdengar napasnya terasa berat. Butir-butir airmata ibunya terus mengalir. 'Dengar tuh dek, mamah sudah kehilangan ayahmu. Apa kamu juga mau meninggalkan mamah?' kata ibunya penuh isak tangis.

'Adek nggak mau kemana-mana, adek cuman kangen bapak..' Kata Anak itu menatap ibunya dengan polos, Airmata ibunya malam mengalir deras. Mata saya terasa bergetar, tak kuasa menahan airmata. Menyaksikan perstiwa itu terasa menyayat hati. Terkadang butir-butir airmata tidak lagi mampu dikendalikan, mengalir begitu saja.

'Segala sesuatu (di dunia ini) pasti memiliki timbangan dan takaran kecuali air mata, karena satu tetes darinya dapat memadamkan lautan api'. (Imam Ja’far, Bihârul Anwâr, jilid 93, hal. 331, Hadis No.14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar