Jumat, 04 Maret 2011

::: Saldo Cinta :::

Cieee ... Saldo cinta? Seperti neraca dalam istilah Akuntansi saja, disebelah mana ya saldonya? Apa dikredit atau didebet. Apakah saldo cinta sahabat positif atau negatif? Baiklah itu hanya sekedar judul dari artikel dibawah yang dikirim teman yang sejatinya persis seperti lagu Iwan Fals alias "Belum Ada Judul". Mari kita simak saja artikelnya, smoga memberikan inspirasi bagi sahabat semua.
---
Karena merasa setiap orang yang saya temui pasti membawa makna belajar, maka ketika mengetahui seorang sahabat dokter bertugas demikian lama di unit gawat darurat, saya memintanya untuk mencatat pesan-pesan terakhir orang yang mau meninggal. Begitu tahu permintaan ini akan digunakan sebagai pesan yang dibaca ribuan orang, maka ia menyanggupi untuk mencatatnya selama dua minggu. Yang mengejutkan saya, dalam dua minggu pengamatan tadi, tidak ada satu orang pun yang akan meninggal yang menitipkan harta, atau membanggakan hasil-hasil 'kemenangannya' selama hidup.
Tidak juga ada orang yang berpesan untuk membunuh musuh-musuhnya. Apa lagi untuk mengingat-ingat dendamnya pada orang lain. Hampir semua orang yang mau meninggal – demikian tutur dokter tadi serius - menitipkan keluarga dekatnya (isteri, suami,anak, ibu, bapak dll) ke orang yang ditinggalkan.

Dan kalau boleh saya sarikan dalam satu kesimpulan, semua responden merasakan 'hutang' cinta ke orang-orang yang ditinggalkan.

Tidak ada yang merasa tidak memiliki hutang cinta. Seolah-olah memberikan pelajaran, semua manusia yang hidup di dunia ini meninggalkan hutang cinta. Dalam bahasa akuntansi, harta cinta kita selalu lebih sedikit dibandingkan dengan hutangnya.

Lama sempat saya tercenung dengan penemuan sederhana terakhir. Dan dengan sedikit kejernihan, sayapun termasuk manusia dengan saldo negatif cinta.

Lebih-lebih ketika mengingat, bahwa rel karir dan kemajuan di manapun ditandai oleh orang-orang yang amat bernafsu untuk menang. Menang, menang dan menang, itulah mesin pendorong kemajuan. Dan tiba-tiba setelah mencermati penemuan sahabat dokter di atas, rupanya di penghujung kehidupan, kemenangan bukanlah segala-galanya. Bahkan, menjadi sumber dari banyaknya hutang cinta kepada orang lain.


Anda dan saya beruntung mengetahuinya bukan ketika sudah berada di gerbang akhir kehidupan. Namun, ketika waktu masih terbentang lebar untuk membuat saldo cinta kita jadi positif, waktu yang tersedia untuk membuat harta cinta lebih besar dibandingkan dengan hutang cinta kita pada orang lain masih tersisa. Pertanyaannya kemudian, dari manakah kita sebaiknya memulai usaha untuk mengurangi hutang cinta ?

Sebagai manusia biasa, sayapun tergoda untuk memuaskan ego saya. Lebih-lebih berhadapan dengan rekan sekantor. Ibarat berperang, berebut posisi naik memiliki kemungkinan naik jabatan dan pendapatan. Lebih-lebih dengan bungkus 'politicking' yang cantik dan manis. Semuanya bisa dipermainkan, rekan-rekan kita bisa dibuat sakit hatinya melalui tangan-tangan orang lain.

Akan tetapi, mengingat pentingnya harta cinta dalam hidup, dan mengurangi hutang cinta, saya memaksa diri untuk tidak melakukannya. Tentu saja dengan resiko kehilangan muka di depan rekan-rekan kerja yang lainnya.

Berat dan membebani memang, namun inilah pilihan sikap yang saya yakini bisa membuat harta cinta bertambah.

Nah Anda juga saya yakin, tentu saja pernah, atau malah sering berhadapan dengan gesekan-gesekan karir semacam ini. Dan sebagaimana saya, juga digoda untuk selalu tampil sebagai pemenang. Adalah menjadi pilihan Anda, apakah ikut nafsu untuk senantiasa menang, atau ikut menabung cinta. Yang jelas, berbeda dengan orang-orang yang sudah berada di gerbang akhir kehidupan yang hanya bisa pasrah, Anda dan saya masih punya banyak kesempatan untuk lebih dari sekadar pasrah.

Disamping di jalur karir, jalur keluarga juga amat berpotensi menjadi sumber dari hutang-hutang cinta. Secara lebih khusus, karena di rumahlah kita tampil hampir telanjang. Sebab, di sinilah kita hidup dengan topeng yang amat minimal. Menyadari hal ini, kita memang tidak bisa membuat hutang cinta menjadi nol, apa lagi di rumah. Lebih-lebih tugas sebagai orang tua, suami dan isteri yang kadang harus bersikap tegas. Namun, kita bisa mengimbanginya dengan tabungan-tabungan cinta yang dikenang.

Dan berbeda dengan hal-hal negatif yang mudah sekali diingat dan dikenang, tindakan-tindakan cinta mudah sekali lenyap dari kenangan. Satu tindakan menyakiti hati, bisa diingat orang selamanya. Namun, seribu tindakan mencintai belum tentu diingat satupun. Oleh karena alasan inilah, maka diperlukan tabungan cinta yang bergunung-gunung agar tabungan cinta jadi positif. Saya menulis tulisan ini sambil memangku anak bungsu saya yang menyita sebagian layar komputer, untuk memutar VCD/DVD yang dia amat sukai. Yang jelas, setiap ada kesempatan untuk menabung cinta, saya berusaha untuk memanfaatkannya.

Seorang sahabat saya di Inggris pernah menyarikan hidup dan kehidupan dalam satu kalimat sederhana namun indah : TO LIVE A LIFE WITH LOVE. Memenuhi kehidupan dengan cinta. Dan bukan sebuah kebetulan, kalau tiga kata yang menjadi inti kalimat tadi (live, life, love) memiliki unsur yang amat mirip dan dekat. Karena ketiganya (hidup, kehidupan dan cinta) memang diciptakan sebagai satu paket yang saling berkait. Terdengar sulit dicapai memang, dan sayapun kerap masih salah dan khilaf, namun bukankah akan lebih sulit lagi mencapainya kalau ia baru kita mulai ketika kita tidak berdaya di gerbang kematian?

by : Deden Wahyudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar