Sabtu, 05 Maret 2011

“Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu”

Suatu sore, ditahun 1525...

Penjara terasa hening mencekam, penuh berisi orang-orang yang menolak menjadi Morisko(1). Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap pegawai penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu lars milik tuan Roberto itu niscaya akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.

Hai, hentikan suara jelekmu! Hentikan!” teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata.
Namun apa yang terjadi?
Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.
Dengan congkaknya ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang.
Tak puas sampai disitu, ia lalu menyulut wajah badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.

Sungguh ajaib, tak terdengar secuilpun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan hanya mengeluarkan kata: “Rabbi, wa ana 'abduka. Laa hawla walaa quwwata illaa billaah.” (Ya ALLAH, aku adalah hambamu. Tiada daya [kuasa] dan upaya [kekuatan] melainkan atas [kehendak] izin ALLAH).
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai Ustadz, insya ALLAH tempatmu filjannah.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil Ustadz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.

Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Kau telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan Gereja Katolik Roma. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan menjadi Morisko.”

Mendengar 'khutbah' itu, orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin.
Ia lalu berucap: “Sungguh, aku sangat merindukan kematian agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALLAH. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-NYA, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”

Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itu dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto.

Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!” ucap sang Ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya sepatu lars Roberto yang berbobot 2 kilogram itu menginjak jari-jari tangan sang Ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh.
Mendadak algojo itu termenung.

Ah, sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini,” suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur 30 tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan 'aneh' dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk disamping sang Ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.

****
Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi(2).

Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh perempuam berhijab digantung pada tiang-tiang kayu sula(3) yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian Muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dan Yahudi dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang kayu sula, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib, tidak mau jadi Morisko dan Morrano.

Seorang bocah, mungil tampan berumur sekitar 5 tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban yang menolak menjadi Morisko itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang Ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang Ummi yang sudah syahidah.
Sang bocah berkata dengan suara parau, “Ummi, Ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah Ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa? Ummi, cepat pulang ke rumah, Ummi.”
Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang Ummi tidak menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi, Abi, Abi.....”
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin petang bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

Hai, siapa kamu?!” teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.

Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi,” jawab sang bocah memohon belas kasihan.

Tiba-tiba 'plak!', sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
Hai bocah, wajahmu bagus tetapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang Adolf Roberto. Awas!! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.

Sang bocah meringis ketakutan, masih tetap meneteskan air mata. Bocah mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi.
Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

****
Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang Ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu.
Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam', ia berteriak histeris.
Abi, Abi, Abi.....!” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya.
Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci Al-Qur’an milik ayahnya, yang dahulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.

Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua renta yang lemah itu. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam.
Saat itu dengan spontan menyebut: “Abi, aku masih ingat alif, ba, ta, tsa,” hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam kulit otaknya.
Sang Ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.

Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu,” terdengar suara Roberto memelas.

Sang Ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap, “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Disana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu.”

Setelah selesai berpesan, sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal Kalimat Indah: “Asyahadu an laa ilaaha illallaah, wa asyahadu anna Muhammadar Rasuulullaah.”
Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al Andalusy berpulang ke Rahmatullah menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjihad dibumi yang fana ini.

****
Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Kemudian menyeberang Samudra yang gelap dan berkabut, bermukim di Dunia Baru. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya –Islam-, sebagai ganti kekejaman dan kemungkaran yang di masa muda telah diperbuatnya.
Dekrit kedua Raja Spanyol Carlos V tahun 1543 yang berisikan perintah pengusiran Muslimin keluar dari jajahan Spanyol di seberang laut Atlantik, menyebabkan Ahmad Izzah dan seluruh pengikutnya berpindah ke Utara, di mana sebelumnya, yaitu sejak tahun-tahun 700-800 M, telah bermukim kaum Muslimin emigran gelombang pertama Pra-Columbus.
Menurut Dr. Barry Fell dari Harvard University bahwa di tempat itu telah bermukim kaum Muslimin, yang telah mendirikan sekolah-sekolah Islam di daerah yang sekarang dikenal dengan Valley of Fire, Allan Springs, Logomarsino, Keyhole, Canyon, Washoe dan Hickison Summit Pass (Nevada), Mesa Verde (Colorado), Mimbres Valley (New Mexico) dan Tipper Canoe (Indiana).

Wallahu a'lam bish shawab!!

Firman ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALLAH; (tetaplah atas) fitrah ALLAH yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah ALLAH. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum [30]: 30)

****
Makassar, 6 & 13 Juni 2004
Posted by H. M. Nur Abdurrahman
by : Alv Vin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar