Selasa, 27 Juli 2010

MENUJU CAHAYA.., CAHAYA DIATAS CAHAYA....

Bismillahirrahmanirrahim

Cahaya tak pernah tenggelam atau tertelan kegelapan, karena cahaya akan tetap bersinar kendati ada awan yang menutupinya. Hanya benda yang terhalang oleh cahaya yang tak bakal mendapati cahaya. Bunga ketika diletakkan di halaman rumah, kemungkinan mendapatkan cahaya lebih besar ketimbang bunga yang dibiarkan hidup dalam rumah. Mengapa bunga yang berada dalam rumah peluangnya kecil mendapati cahaya? Karena rumah menjadi sekat untuk sampainya sinar cahaya pada bunga. Padahal kita tahu sendiri, ketika bunga jarang mendapati cahaya, cenderung menjadi layu, daun-daunnya berguguran, dan berujung pada kematian sang bunga. Kehadiran cahaya matahari serasa sangat penting, pun kemunculan cahaya rembulan bisa menumbuhkan bibit,

Ketika kesenyapan malam, ditembusi setitik cahaya remang-remang, ternyata menumbuhkan kehidupan bagi tanaman. Kenyataan ini pernah saya amati ketika saya menyertai ibu bertani di ladang, melihat tanaman padi, pertumbuhan terjadi ketika telah melewati malam. Berarti malam hari pun menebar pertumbuhan lewat cahaya malam. Memang cahaya membuat hidup lebih termaknai, tanpa cahaya tanaman tidak tumbuh, pun manusia tanpa mendapati sinaran cahaya, akan terlihat loyo, demotivasi, dan tak memiliki gairah positif untuk melejitkan potensinya yang luar biasa. Pendek kata, memang pada asasnya seluruh kehidupan ini bersenggama dengan cahaya. Dari cahaya tumbuh jagat kehidupan ini.

Mari kita tarik metafor lahiriah yang terbentang di alam besar tersebut ke jagat batin kita yang amat lembut. Mungkinkah kita merasa hati ini hidup tatkala cahaya hidayah tersumbat dan tak menembusi batin kita? Serasa hati disesaki gundah gulana, dikitari kesedihan, kesusahan, seperti orang yang mendaki gunung-gemunung yang tinggi, nafas pun tersengal-sengal. Perkara apapun yang menyesakkan dada menandakan energi negatif telah mengalir ke setiap zona batin kita. Negatifitas yang memenuhi batin itu menandakan tidak merasuknya cahaya ilahiah ke ruang kesadaran kita. Mengapa cahaya ilahiah tidak terserap ke dalam kesadaran? Ya, karena kita cenderung berpaling dari cahaya, atau menutup diri dengan kehadiran cahaya. Bukankah hanya pintu-pintu terbuka yang akan dimasuki tamu. Buka jendela atau pintu batin kita untuk menerima kebenaran sejati, sehingga dari bilik batin kita akan berjejal selaksa cahaya kebenaran.

Cahaya tetap bersinar, bergantung kita yang mau menerima cahaya itu. Kiranya apa yang menjadi penghalang manusia bersua dengan Sang Cahaya. Dinding tebal yang menghalangi manusia untuk mendapati cahaya tersebut, adalah keakuan. Manakala manusia berhasil menjebol tembok keakuan yang membiakkan sifat riya’, dengki, dan sombong, insya Allah sinar cahaya Ilahiah bakal menerobos ruang batin, berikut cahaya kebahagiaan menghiasi ruang batin dan lahiriah kita. Gumpalan kegundahan bakal mencair menjadi kehangatan dan kebeningan yang menyalakan kreativitas. Karya-karya pun bisa melejit secara dahsyat. Ya hanya cahaya yang bisa melepaskan belenggu manusia yang berada dalam kegundahan.

Kalau Allah memantulkan cahaya lahiriah melalui matahari, musti Allah juga mengutus cahaya batin yang bisa menghalau kegelapan yang menyergap kehidupan manusia. Menerbitkan optimisme tatkala manusia disandera kebekuan pesimisme, menyegarkan harapan yang sudah layu, menerangi kegelapan yang beku dan kaku. Allah mengutus cahaya pada manusia adalah para Nabi sebagai representasi cahaya agung, kemudian disalurkan pada para sahabat, para waliullah, dan ulama zuhud yang hidup saat ini. Itu berarti, agar kita bisa mencerap cahaya, perlu kiranya kita terus tersambung dengan cahaya “ulama” yang memilih terus menerangi kegelapan. Janganlah kita berpaling dengan ulama’, yang ada dalam benak kita ketika berada di hadapan ulama’ adalah mendengarkan dan mentaati. Ketika kita berada dalam kepatuhan yang teguh pada ulama’, insya Allah cahaya bakal terus memandu hidup kita. Insya Allah.


MENONTON DIRI SENDIRI YUUKK....

Demikian beragam tontonan menguras perhatian kita selama ini. Betapa banyak diantara kita terbius oleh tontonan televisi, aneka pernak-pernik, kemilau duniawi yang serbaneka, pertunjukan para pemimpin yang tengah bertarung merebut kursi panas, dan seterusnya. Makin banyaknya tontonan yang tergelar sarat sensasi di hadapan kita, kadang membuat kita lupa menonton diri sendiri. Inilah saatnya kita menonton diri sendiri, memosisikan diri sebagai obyek yang ditonton. Bagaimana cara menonton?

Menonton membutuhkan mata dan cahaya. Tanpa mata dan cahaya kita tak bisa menonton. Meski cahaya benderang menyinari kehidupan kita, namun tanpa didukung mata, niscaya obyek yang ditonton tak bisa dilihat. Sebaliknya, andai mata sehat, namun tak ada cahaya yang membersit, kita pun tak bisa menonton. Karena itu, ketika hendak menonton perlu memadukan kekuatan mata dan cahaya.

Mata perlambang dari mata hati (akal). Saat Anda hendak menonton diri sendiri, hidupkan mata hati sehingga bisa melihat secara gamblang film kehidupan Anda sendiri. Cahaya simbol dari cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi berupa petunjuk Allah SWT. Bersandarlah sepenuhnya pada kebaikan Allah, semoga cahaya Ilahi itu membersit dalam hati kita. Andai cahaya Ilahi juga belum menghinggapi diri kita, berusahalah berdampingan dengan sosok mulia yang telah tersaluri cahaya Ilahi. Rasulullah bersabda, “Orang beriman adalah cermin bagi orang yang beriman.”

Cermin tempat kita berkaca tentang diri secara sederhana. Cermin akan memantulkan sosok kita yang sejati. Lewat cermin pula kita bisa mengukur, menimbang, dan menilai diri kita secara jernih. Sosok yang jernih dan terliput kebaikan patut dijadikan cermin, karena darinya terpancar magnet kebaikan yang berdaya pesona.

Sebelum menonton diri sendiri, kita perlu menghidupkan mata hati dengan cara menggerus biji egoisme yang masih bersarang dalam kesadaran kita. Karena egoisme sering menghalangi mata hati untuk melihat diri secara gamblang. Buatlah kita berjarak dengan diri sendiri, kita menonton diri seperti menonton orang lain. Tataplah lekat-lekat diri kita dengan mata hati, maka kita akan mengetahui secara jernih, siapa diri kita yang sebenarnya. Boleh kita memutar kembali film masa lalu yang pernah ditapaki. Dari rentetan film itu, kita bakal memahami secara dekat karakter dan kebiasaan hidup kita. Setelah itu kita memeroleh pemahaman “siapa diri kita”.

Ketika kita terbiasa menonton diri dengan cara membuat jarak terhadap diri sendiri, maka kita tak akan terlalu terikat oleh keadaan yang datang silih berganti, entah musibah atau nikmat. Seperti kita menonton televisi, ada saja lintasan kesedihan dan kebahagiaan mewarnai penggalan demi penggalan adegan tersebut. Ketika kita menonton diri sendiri secara utuh, akan ditemukan keindahan-keindahan yang tak terlukiskan kata-kata. Juga dengan menonton diri sendiri, kita bakal menemukan kenyataan menakjubkan yang tak bisa dikadar dengan akal yang berlimit. Kebiasaan kita menonton diri sendiri juga akan memandu kita untuk menggerus jalan setapak sempit “berupa keakuan” bergantikan jalan raya ditandai oleh terbangunnya jiwa universal, cinta universal. Dan hidup Anda tergabung dengan jiwa kemanusiaan, bahkan jiwa semesta.

By ; Vicky Robiyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar