Senin, 23 Agustus 2010

Hati Yang Bersahaja

Di Rumah Amalia ada seorang ibu yang bertutur pada saya, ketika dua puluh tahun perkawinan berjalan wajar pada umumnya, ada godaan, pertengkaran, cobaan. Terlebih suaminya ganteng dan simpatik. Sebagai seorang perempuan tentu saja ada kecemburuan, takut suaminya tergoda oleh perempuan lain yang mengejarnya kemudian meninggalkan anak dan istri. Beruntunglah suaminya tidak menjadi sombong dan aji mumpung karena wajahnya yang tampan. Suaminya selalu mengatakan bahwa kecantikan dan ketampanan hanyalah sementara, yang paling penting adalah akhlak yang baik dan ketaqwaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Sampailah suaminya jatuh sakit selama bertahun-tahun, menurut dokter ia menderita sakit paru-paru. 'Kami sudah berusaha dengan perawatan medis namun keputusan akhirnya tetaplah di tangan Allah.' tutur beliau. Sampai kemudian suaminya meninggal dunia, meninggalkan dirinya dan empat orang anaknya. Rasa sedih, kedukaan, khawatir menatap masa depan yang nampak buram. Dirinya benar-benar tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang yang menjadi sandaran hidupnya, yang sangat dicintainya telah diambil oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Meninggalkan keluarga untuk selamanya.

'Mengapa kebahagiaan itu begitu singkat?' 'Hanya dua puluh tahun kami bersama. Dimanakah letak keadilan Allah?' 'Apakah Allah tidak menghendaki kebahagiaan bagi hambaNya?' ucap beliau lirih, suaranya parau. Dirinya dan anak-anak meratapi kepergian suami tercinta. Dasar keimanan dan adanya kesadaran bahwa setiap manusia akan kembali kepada Allah membuat dirinya dan anak-anaknya menjadi kuat dan tabah, tidak membuatnya menjadi depresi ataupun marah kepada Allah.

Dengan uang pensiun yang tidak seberapa beliau berusaha mempertahankan hidup, karena tidak adanya kepandaian dan ketrampilan khusus yang dimilikinya maka yang ditumpuhnya membuat makanan kecil, gorengan yang dititipkan ke warung-warung kecil disekitar tempat tinggalnya. Melihat kehidupannya yang menderita ada saja yang menaruh kasihan dan bersedia menjadi suami sekaligus bapak bagi anak-anaknya. Namun semua itu ditolaknya. Beliau tetap bertahan dalam kesendiriannya demi membesarkan anak-anak yang dicintainya. Setiap pagi selesai sholat subuh kemudian belanja ke pasar, terus membuat gorengan. terkadang juga menerima cucian baju tetangga. Seperti itulah aktifitasnya setiap hari.

Setelah menamatkan SMA ketiga anaknya langsung bekerja. Mereka membantu menyekolahkan adiknya yang bontot. Bahkan anaknya yang pertama bertekad tidak akan menikah sebelum adiknya menyelesaikan sekolahnya. Ia menepati janjinya. sampai adiknya selesai kuliahnya, kakaknya baru menikah. Harapannya adalah anak-anaknya semua sehat walfiat serta dalam lindungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Doa Sang Ibu dikabulkan oleh Allah seperti yang diharapkan, anak-anaknya mendapatkan jodoh yang sholeh dan sholehah, hidup berkeluarga dengan baik bahkan sudah memiliki rumah tinggal sendiri.

'Mas Agus, saya bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa ta'ala karena mereka menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah, memperoleh pekerjaan yang bisa menghidupi keluarga masing-masing. Seperti doa yang saya panjatkan kepada Allah setiap malam setelah sholat tahajud.' Tutur beliau, seorang Ibu dengan hati yang bersahaja telah menghantarkan anak-anak menjadi 'orang' yang selalu di jalan Allah Subhanahu Wa ta'ala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar