Kamis, 27 Januari 2011

::: Hakikat Ikhlash :::


Asalamualaikum Wr Wb,
Ikhlash adalah sesuatu yang begitu mudah diucapkan akan tetapi betapa sulitnya direalisasikan. Sampai-sampai sebagian ulama salaf menyatakan: “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersaksikan bahwasanya dirinya telah ikhlash maka sungguh dia butuh untuk ikhlash lagi”, sebagaimana diucapkan oleh As-Susiy.
Hal ini dikarenakan apabila seseorang merasa telah ikhlash dalam ucapan dan perbuatannya berarti dia telah berbuat ‘ujub (kagum dan bangga dengan amalnya) yang akan menghapuskan amalannya tersebut. Sedangkan orang yang ikhlash adalah orang yang amalnya bersih dari seluruh hal yang akan menghapuskannya seperti riya`, sum’ah, ‘ujub dan yang lainnya.

Berkata Ya’qub: “Orang yang ikhlash adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.”

Kecuali kalau dalam rangka agar orang lain mengikuti perbuatan baiknya maka boleh menampakkan perbuatannya tersebut karena ada maslahat bagi orang lain.


Berkata Ayyub: “Memurnikan niat bagi orang-orang yang beramal itu lebih berat atas mereka daripada (mengerjakan) seluruh amalan-amalan.”

Berkata sebagian ulama salaf: “Ikhlash sesaat adalah keselamatan selama-lamanya, akan tetapi ikhlash itu adalah sesuatu yang sangat sulit.”
Ketika Suhail ditanya: “Apakah yang paling berat bagi jiwa?” Maka beliau menjawab: “Ikhlash, karena padanya tidak ada bagian yang lainnya.”

Berkata Al-Fudhail: “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya` sedangkan beramal karena manusia adalah kesyirikan, adapun yang namanya ikhlash adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”
Maksud beliau adalah apabila ada seseorang meninggalkan amal kebaikan karena takut riya` seperti dia tidak mau shalat sunnah karena takut riya’, berarti dia sudah terjatuh pada riya` itu sendiri. Yang seharusnya dia lakukan adalah tetap melaksanakan shalat sunnah walaupun di sekitarnya ada orang dengan tetap berusaha untuk ikhlash dalam amalnya tersebut.
[Lihat: Tazkiyyatun Nufuus, karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid, hal.17, dengan beberapa perubahan.]

Pentingnya Ikhlash bagi Penuntut Ilmu
Berkata Al-Imam An-Nawawiy setelah membicarakan tentang keutamaan ilmu dan kedudukan ulama: “Ketahuilah bahwasanya apa-apa yang telah kami sebutkan dari keutamaan menuntut ilmu, hanyalah akan diperoleh bagi orang yang mencarinya dalam rangka mengharapkan Wajah Allah Ta’ala, bukan dalam rangka mencari dunia. Dan barangsiapa dalam menuntut ilmu dia mencari tujuan duniawi seperti harta, kepemimpinan, kedudukan, kemegahan, ketenaran, menarik perhatian manusia kepadanya atau ingin mendebat orang lain, atau yang sejenisnya maka ini semuanya tercela.” (Al-Majmuu’ 1/23)

Apabila seorang penuntut ilmu mendapatkan dalam dirinya kecenderungan kepada riya` dan senang untuk berbangga-bangga dengan ilmunya, maka wajib baginya untuk menyibukkan diri dengan memperbaiki niat, bersungguh-sungguh melatih jiwanya agar tetap di atas keikhlashan, menghilangkan was-was syaithan, berlindung diri dari kejahatan dan kejelekannya sampai niatnya kembali menjadi bersih dari berbagai kotoran riya dan yang lainnya, dan tertutuplah pintu-pintu masuk syaithan yang biasa menyusup dari sela-sela jiwa manusia.

Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnus Simak bahwasanya dia berkata: Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauriy berkata:
“Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat atas diriku daripada (memperbaiki) niatku, karena niat itu senantiasa berubah-ubah pada diriku.” (Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawiy wa Aadaabis Saami’ 1/317)

Al-Khathib juga meriwayatkan dari Bisyr Ibnul Harits bahwasanya beliau ketika berbicara lalu menyebutkan sanad hadits, maka beliau berkata: “Astaghfirullaah, sesungguhnya ketika menyebutkan sanad muncul perasaan bangga dan sombong dalam hatiku.” (Ibid. 1/338)

Dia takut masuknya perasaan sombong dan bangga ke dalam hatinya, ketika dia menyebutkan sanad dari para perawi dan guru-gurunya yang meriwayatkan dari mereka, lalu hal ini menjadi sebab munculnya riya`, maka diapun mengawasi bisikan-bisikan jiwanya lalu meminta ampun kepada Rabbnya.

Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan juga dari ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far bahwasanya beliau berkata: “Apabila seseorang ketika sedang berbicara di suatu majelis lalu pembicaraannya tersebut menjadikan dia ta’ajjub (kagum) maka hendaklah dia diam, dan sebaliknya apabila dia diam lalu diamnya tersebut menjadikan dia ta’ajjub maka hendaklah berbicara.” (Ibid. 1/338)

Beramal Terus Sambil Memperbaiki Niat
Sangatlah pantas bagi kita untuk memperhatikan permasalahan ini yaitu terhadap pintu-pintu masuknya syaithan yang selalu berusaha menggoda manusia, yang wajib bagi para penuntut ilmu mewaspadainya.

Yang dimaksud pintu syaithan di sini adalah godaan dan tipuannya syaithan yang menjadikan permasalahan riya` dan rasa takut darinya sebagai senjata untuk menghalangi seorang penuntut ilmu dari tujuannya (sehingga tidak lagi menuntut ilmu karena takut riya`), dan menghalangi seorang yang alim dari majelis ilmu (sehingga tidak lagi mengajarkan ilmunya karena takut riya`), menghalangi seorang da’i dan pemberi nasehat dari pelajaran-pelajarannya, dengan alasan bahwasanya manusia akan kagum dengan pembicaraannya dan hal ini mengantarkan kepada riya` atau karena semata-mata didapati dalam dirinya ada kecenderungan kepada bisikan-bisikan riya` dan senang dengan kagumnya manusia dan pujian mereka kepadanya.

Sungguh para ulama telah membedakan antara riya` yang merupakan tujuan dan pendorong atas suatu amalan dengan keadaan seorang muslim yang telah menyempurnakan amalannya dengan ikhlash kemudian dia mendapati sebagian kesenangan pada dirinya dari pujian manusia atasnya setelah dia menyelesaikan amalannya tersebut, maka hal ini tidaklah mengurangi hakikat keikhlashannya insya Allah. (Mukhtashar Minhaajil Qaashidiin hal.221)

Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Dzarr, dia berkata: Dikatakan kepada Rasulullah: “Apakah pendapat engkau terhadap seseorang yang melakukan suatu amalan kebaikan dan manusia memujinya?” Maka beliau menjawab: “Itulah balasan kebaikan yang disegerakan sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.”

Sebagaimana para ulama juga telah memberitahukan bahwasanya selayaknya bagi seorang penuntut ilmu agar jangan meninggalkan jalan menuju ilmu apabila dia mendapatkan dalam dirinya ada sesuatu dari riya`, akan tetapi yang harus dia lakukan adalah menyibukkan diri dengan memperbaiki niatnya dengan tetap meneruskan menuntut ilmu dan menyebarkan ilmu serta mengajarkannya kepada orang lain.

Berkata Al-Imam An-Nawawiy: “Tidak Selayaknya bagi seorang yang berilmu untuk tidak mengajarkan ilmunya kepada seseorang dengan alasan karena niat orang yang belajar tersebut belum benar, karena sesungguhnya dia masih diharapkan agar baik niatnya. Dan terkadang dirasakan berat oleh kebanyakan para pemula dari kalangan para penuntut ilmu masalah perbaikan niat karena lemahnya jiwa-jiwa mereka dan sedikitnya kesenangan mereka terhadap kewajiban memperbaiki niat.
Karena menghalangi atau mencegah dari mengajari mereka akan mengantarkan kepada terluputnya ilmu yang banyak, bersamaan dengan itu masih diharapkan perbaikannya dengan adanya barakah ilmu apabila dia senang ilmu. Dan sungguh para ulama salaf mengatakan: “Kami dulunya menuntut ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itupun enggan kecuali agar dicari dalam rangka karena Allah semata.” Artinya akibat terakhirnya adalah jadilah menuntut ilmunya itu karena Allah semata.” (Al-Majmuu’ 1/30)

Hal itu juga sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam Ibnul Jauziy, di mana beliau mengatakan: “Sungguh Iblis telah memberikan tipu dayanya kepada seorang pemberi nasehat yang ikhlash, maka Iblispun berkata kepadanya: “Orang sepertimu tidaklah memberi nasehat dan akan tetapi kamu hanya pura-pura memberi nasehat.” Akhirnya diapun diam dan berhenti dari memberi nasehat. Itulah di antara makar Iblis, karena dia menginginkan menghalangi perbuatan yang baik…. Iblispun juga berkata: 

“Sesungguhnya kamu ingin bernikmat-nikmat dengan apa yang kamu sampaikan dan kamu akan mendapatkan kesenangan karena hal itu, dan kadang-kadang akan muncul perasaan riya` pada ucapanmu, dan menyendiri itu lebih selamat.” Maksud dari perkataan ini adalah menghalangi dari berbagai kebaikan”. (Talbiisu Ibliis hal.125)
Luruskan Niat dalam Menuntut Ilmu!

Kita akhiri pembicaraan ini dengan wasiat Abu Hamid (beliau di akhir hidupnya bertaubat dan kembali ke manhaj salaf, yang sebelumnya bermanhaj shufi) di mana beliau mengingatkan para penuntut ilmu akan wajibnya mengawasi dan memperhatikan jiwanya dan agar selalu bertanya kepadanya apa pendorong dalam mencari ilmu dan kesabarannya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan menuntut ilmu:

“Berapa malam kamu bangun untuk mengulang ilmu dan mentelaah kitab-kitab dan kamu mengharamkan dirimu untuk tidur, aku tidak tahu apa yang mendorongmu melakukan semuanya itu? 

Apabila niatmu mencari bagian dari dunia, perhiasannya dan kedudukan-kedudukan di dunia, serta ingin berbangga-bangga dengan teman-teman setingkatmu, maka kecelakaanlah bagimu kemudian kecelakaanlah bagimu. Dan apabila tujuanmu dalam mencari ilmu adalah dalam rangka menghidupkan syari’atnya Nabi dan mendidik akhlakmu serta mengikis habis nafsu yang cenderung kepada kejelekan, maka kebahagiaanlah bagimu kemudian kebahagiaanlah bagimu.” (Ayyuhal Walad hal.105-106) 

By : Budiman Helly

*** 
Sahabat khudzaifah bin al -Yaman menceritakan, bahwa nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wasallam suatu hari ditanya tentang ikhlas itu apa sebenarnya? Nabi tidak lansung menjawab, tapi menanyakan hal itu kepada Jibril,
kemudian Jibril mengatakan : "Saya pernah menanyakan tentang ikhlas ini kepada Tuhan Rabbul Izzah, kemudian Beliau menjelaskan :

"IKHLAS ITU MERUPAKAN RAHASIA-KU, YANG KU TITIPKAN PADA HATI ORANG-ORANG YANG KU-CINTAI DIANTARA HAMBA-HAMBA-KU (diriwayatkan al-Qazwini, di kutip juga oleh al-Qusyairi)

Wallahu a'lam bishawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar