Selasa, 03 Maret 2009

Kala Malam Turun Hujan

Begitu lebat, Jakarta bagai padang luas yang disirami. Didalam angkutan umum anak kecil menyanyikan lagu tombo ati, sambil mengusap ingusnya. Nyanyian itu nyanyian hati ditengah duka ibukota. Anak kecil itu tak mengerti tentang duka, yang dia tahu setelah menyanyi berharap ada uang receh yang didapat. Nyanyian tombo ati bagai air hujan yang menyirami hati yang terluka akibat duka yang berkepanjangan.

Sebuah pertanyaan sempat terlontar. Sudahkah kita membaca duka dengan memahami makna dibalik semua ini? Apa ya kira-kira hikmahnya? Kita terkadang buta untuk membaca makna. Mudahnya kita terjebak. Bila kebenaran adalah kesalahan dan kesalahan adalah kebenaran, lantas apa yang disebut benar? dan apa yang disebut salah? Yang Nampak hanyalah ilusi dari pikiran-pikiran kita.

Kesibukan mencari kebenaran terasa hambar, namun kesibukan untuk mendidik diri sendiri jauh memiliki makna. Gurunya, ya muridnya, ya bukunya, ya kepala sekolahnya semuanya adalah sang aku. Menengok kedalam diri sebagai proses pembelajaran. Lihat semua, hadapi semuanya. Ambil keputusan terus jalani hidup.

Pernah dulu, saya melihat seorang kyai yang memiliki pesantren dengan santri ribuan dan pesantrennya dibubarkan. Santrinya disuruh pulang, belajarlah dirumah, kata pak kyai. Alasannya sepele, tidak ingin kecintaannya pada pesantren sehingga melupakan cintanya pada Alloh SWT. Pak Kyai kemudian dihujat, dicaci maki, dikatain gendeng, gila, sedeng. Toh, semuanya dihadapinya. Belakangan saya tahu Pak Kyai itu sedang mendidik dirinya sendiri.

Malampun mulai sayup, angin terasa dingin. Bersamaan laju kencang kendaraan. Nyanyian Lagu tombo ati terdengar bagaikan doa penyembuh dari bocah pengamen bagi mereka yang hatinya terluka.

--
"Maka barangsiapa yang berpaling dari mengingat Aku (berdzikir kepada-Ku), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan kumpulkan mereka di hari qiamat nanti dalam keadaan buta." (Q.S. Thaha:124)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar