Kamis, 18 November 2010

Permata Yang Indah



Terjadi suatu peristiwa, seorang pemuda telah bertanya kepada guru tasawufnya tentang perbedaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam dan kenapa ilmu hakikat tidak berkembang luas. Kemudian sang guru berkata..

“Untuk aku menjawab persoalanmu itu wahai muridku, pergilah bertanya kepada kedua mereka akan dua persoalan ini yaitu yang pertama, adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya? Pergilah ke kampung sebelah karena disana kamu akan menemui ulama syariat dan ulama hakikat. Bertanyalah kepada orang-orang kampung disana untuk mencari mereka.”

Setuju atas arahan gurunya itu lantas si pemuda tanpa banyak bicara terus ke rumah ulama syariat yang terkenal dikampung sebelah dengan bertanya-tanya arah rumahnya kepada orang kampung. Sesampainya si pemuda itu dirumah ulama syariat tersebut dengan ramah mesra si pemuda diajak masuk ke dalam rumah yang serba sederhana itu. Sang ulama syariat kelihatan kemas berjubah putih dan berserban, ditambah raut wajahnya yang bersih tanda beliau seorang yang soleh. Si pemuda dilayani seperti anak sendiri dengan dijamu makan malam sebelum sesi dialog dijalankan. Usai makan malam terus saja sang ulama syariat memulai pembicaraan.

“Ada urusan apa sehingga kamu bertandang ke rumah saya ini wahai anak muda?”

Tanya sang ulama syariat dengan nada yang redup.

“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawaban diatas dua persoalan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustadz. Persoalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”

Setelah diam sejenak lalu sang ulama syariat menarik nafas dalam-dalam dan dengan tenang memberikan jawabannya.

“Ya, Allah itu memang berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah wajib.”

Setelah mendapatkan jawaban daripada ulama syariat itu maka pemuda itu pulang sambil hatinya berazam untuk bertemu dengan ulama hakikat pula. Keesokkan harinya si pemuda mula merayau-rayau dikampung itu untuk mencari sang ulama hakikat. Puas bertanya dengan orang kampung maka tengah hari itu si pemuda bertemu dengan seorang makcik yang akhirnya bersetuju menunjukkan beliau dimana sang ulama hakikat berada.

Sesampainya ditempat yang dituju kelihatan seorang lelaki tua sedang membersihkan halaman rumahnya yang luas dihiasi taman bunga yang cantik. Rumahnya begitu besar dan mewah. Sang ulama hakikat yang berkulit gelap itu kelihatan memakai pakaian yang agak lusuh tidak sebanding dengan  rumahnya yang begitu mewah. Sudah sepuluh menit si pemuda mengobrol ringan dengan sang ulama hakikat namun kelihatan seolah-olah tiada tanda-tanda sang ulama hakikat mau menjemput beliau masuk ke dalam rumahnya yang mewah itu.

“Ada apa urusan anak menjumpai saya ini?”

Tanya sang ulama hakikat itu sambil tersenyum. Kemudian si pemuda bertanya persoalan yang sama sebagaimana yang ditanyakan kepada sang ulama syariat.

“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawaban atas dua persoalan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustadz. Persoalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”

Kelihatan sang ulama hakikat tersenyum saja mendengar pertanyaan itu lantas dengan tenang  beliau menjawab..



“Wahai anak muda ketahuilah yang sebenarnya bahwa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram.”

Terperanjat besar si pemuda mendengar jawaban sang ulama hakikat yang bersahaja itu. Sukar rasanya si pemuda mau menghadam jawaban yang baru disampaikan kepadanya itu.
Tanpa membuang waktu  maka si pemuda itu mohon undur diri kemudian pulang ke rumahnya dengan seribu persoalan yang berputar-putar  dibenak kepalanya.

Sebagai seorang muslim taat yang baru hendak menjinak-jinakkan diri dengan dunia tasawuf, si pemuda merasa keliru dengan jawaban yang diberikan oleh sang ulama hakikat. Setahu beliau pelajaran tasawuf itu bersangkutan dengan ilmu hakikat dan ma’rifat. Mendengar jawaban daripada sang ulama hakikat itu membuat si pemuda merasa takut untuk meneruskan pelajaran tasawuf dengan gurunya dan mengambil keputusan untuk tidak lagi berguru dengan guru tasawufnya lantas mengambil keputusan untuk berguru dengan sang ulama syariat. Beliau mulai meragukan perjalanan ilmu hakikat dan dalam hati beliau bergumam..

“Kalau mau dibandingkan dari segi akhlak pun akhlak sang ulama syariat lebih bagus daripada akhlak sang ulama hakikat. Walaupun sang ulama syariat hidup dalam keadaan sederhana namun aku dijemput masuk ke dalam rumahnya lantas dijamu dengan makanan yang enak , Sedangkan sang ulama hakikat yang kedekut.. sudahlah tidak dijemput masuk ke dalam rumahnya, setitik air pun tidak diberinya malah dengan dirinya saja pun sudah kedekut. Lihat saja pakaiannya yang lusuh itu.”

Keesokkannya, si pemuda dengan tergesa-gesa menuju ke rumah sang ulama syariat dan menceritakan kepada beliau hasil dialognya dengan sang ulama hakikat. Mendengar penjelasan si pemuda, sang ulama syariat merasa marah lantas mengarahkan anak-anak muridnya untuk menangkap sang ulama hakikat. Maka dengan sekejap saja penduduk kampung itu digemparkan dengan cerita bahawa sang ulama hakikat itu telah membawa ilmu sesat dikampung itu.

Sang ulama hakikat dapat ditangkap dengan bantuan orang-orang kampung. Tangannya diikat dibelakang lalu dipaksa untuk berjalan. Kelihatan terdapat segelintir dari orang-orang kampung yang bertindak memukul muka dan badan beliau serta tidak kurang juga ada yang melempari beliau dengan batu-batu kecil karena tidak dapat menahan rasa marah. Walaupun   begitu sang ulama hakikat tetap diam namun air matanya tak henti-henti mengalir. Mungkin beliau menahan sakit.

Tiba dihalaman rumah sang ulama syariat lalu dengan kasar tubuh sang ulama hakikat yang sudah tua itu ditolak dengan keras lantas beliau terdorong ke depan lalu jatuh tersungkur. Si pemuda yang sedari tadi menunggu dirumah sang ulama syariat terkejut dengan situasi itu. Beliau tidak menyangka sampai begitu malang nasib yang menimpa sang ulama hakikat sehingga diperlakukan begitu. Namun apalah dayanya untuk mengekang kemarahan orang-orang kampung yang sedang meluap-luap itu. Kemudian setelah meredakan suasana, sang ulama syariat menghampiri sang ulama hakikat lalu bertanya kepada beliau..

“Benarkah anda menjawab ‘Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram’ sebagaimana menjawab pertanya pemuda ini?” sambil jari telunjuknya diarahkan tepat pada si pemuda.

Dengan tenang sang ulama hakikat menjawab “Ya”.
Kemudian sang ulama syariat bertanya lagi.
“Adakah anda masih dengan pendirian anda atau anda mau bertaubat?”
Tanya sang ulama syariat tegas. Lalu dijawab dengan tenang oleh sang ulama hakikat..
“Untuk kesalahan yang mana lalu saya perlu bertaubat wahai hakim?”
“Untuk kesalahan anda yang mengatakan Allah tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya haram!”

“Oh begitu.. beginilah tuan hakim, bagi saya jawaban saya itulah yang teramat benar namun jika tuan hakim tidak menyetujuinya tidak apa-apa dan terserahlah kepada kebijaksanaan tuan hakim untuk mengadili saya kerana tuan adalah hakim dinegeri ini.”

Begitu selesai sang ulama hakikat berkata begitu lantas beliau dilempari dengan puluhan sepatu oleh penduduk kampung dan ada juga yang berteriak agar beliau dibunuh. Sang ulama syariat terdiam dan merenung dalam seolah-olah memikirkan sesuatu yang berat. Akhirnya sang ulama syariat membuat keputusan agar sang ulama hakikat diberi tempo sehingga esok untuk bertaubat dan jika tidak beliau akan dihukum mati. Setelah itu sang ulama hakikat diikat pada sebatang pokok nangka yang berada dihalaman rumah sang ulama syariat dalam posisi duduk menghadap kiblat sambil dikawal oleh beberapa orang-orang kampung.

Kini, saatnya pun telah tiba namun sang ulama hakikat tetap tidak mau bertaubat dari pendiriannya. Ramai yang merasa pelik dengan pendirian sang ulama hakikat dan yang lebih kusut lagi ialah fikiran si pemuda itu. Tiba-tiba si pemuda merasa kasihan dan merasa bersalah mengenang keadaan malang yang menimpa sang ulama hakikat adalah hasil daripada perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Perlahan-lahan si pemuda mendekati sang ulama hakikat untuk memohon maaf. Aneh.. kelihatan sang ulama hakikat itu hanya tersenyum dan dengan senang hati mau memaafkan si pemuda. Ketika si pemuda itu mau pergi  tiba-tiba ia mendengar sang ulama hakikat membacakan sepotong ayat Al Quran dengan nada yang riang..

“Wa qul jaa alhaq wazahaqol baathil innal baathila kana zahuuqo.”


Ucapan beliau berulang-ulang sambil memandang kearah seseorang lantas mukanya tiba-tiba kelihatan berseri-seri dalam senyuman yang menggembirakan. Si pemuda lantas menoleh kearah orang itu dan apa yang beliau lihat ialah kelibat bekas guru tasawuf beliau diantara  kerumunan  penduduk kampung yang ingin menyaksikan hukuman pancung yang bakal dijalankan. Tak lama kemudian hukuman mati pun dilaksanakan maka tamatlah riwayat sang ulama hakikat dibawah mata pedang sang algojo. Seluruh penduduk kampung bersorak gembira tanda kemenangan dipihak mereka yang berhasil membunuh seorang pembawa ajaran sesat

Selang beberapa hari oleh karena rasa ingin tahu yang meluap-luap maka si pemuda segera menghadap bekas guru tasawufnya. Si pemuda merasa heran mengapa sang ulama hakikat membacakan ayat 81 daripada surah al-Isra’ seraya melihat kelibat bekas guru tasawufnya itu?.

“Wahai muridku, marilah duduk dihadapanku ini.”

Ujar guru tasawuf seraya melihat kedatangan muridnya itu. Si pemuda terkejut.. tidak tahu apa yang hendak dikatakannya. Fikiran terasa kosong dan segala persoalan yang hendak diajukan terasa tiba-tiba hilang entah tertinggal dimana.

“Baiklah muridku, atas persoalanmu yang dahulu itu maka akan aku jawab sekarang ini.”
Lembut saja bicaranya.

“Adapun persoalanmu tentang perbedaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam akan aku jawab seperti berikut. Yang pertama, orang syariat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu syariat manakala orang hakikat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu hakikat. Jawaban sang ulama syariat adalah benar menurut ‘bahasa’ ilmu syariat dan jawaban sang ulama hakikat juga benar menurut ‘bahasa’ ilmu hakikat.”

“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Begini… adalah benar apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahwa Allah itu tidak berkuasa sebab melalui peraturan ilmu hakikat, perkataan ‘Allah’ itu adalah dirujuk semata-mata sebagai isim bagi zat tuhan kita saja. Ini bermakna yang berkuasa pada hakikatnya adalah zat tuhan kita dan bukannya yang berkuasa itu isimNya. Perkataan ‘Allah’ itu pada hakikatnya adalah gelar bagi zat tuhan kita. Adapun gelaran itu hakikatnya adalah khabar maka khabar tiada ain wujud. Jika sesuatu itu tiada ain wujudnya maka mustahil dikatakan ia mempunyai kuasa. Adakah kamu faham?”

Si pemuda mengangguk lemah sambil merenung lantai.
“Adalah sesuatu yang benar juga apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahwa sembahyang itu hukumnya adalah haram.”
“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Begini… sebenarnya tiada ibadat sembah-menyembah dalam agama Islam namun yang ada Cuma ibadat sholat. Ya, ianya adalah sholat dan bukannya sembahyang. Coba kamu fahami betul-betul maksud firman Allah dalam surah al-Kafirun ayat 6 yang bermaksud “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku”. Ini menunjukkan cara ibadat orang kafir tidak sama langsung dengan cara ibadat orang muslim. Perkataan sembahyang itu adalah asalnya terbit daripada upacara ibadat masyarakat hindu-budha untuk menyembah tuhan yang bernama Hyang. Maka upacara ibadat itu dinamakan upacara sembahHyang. Sholat itu bukan sembah dan tuhan kita bukannya Hyang tetapi Allah. Jadi kita sebagai orang muslim adalah haram sembahHyang kerana itu adalah ibadat penganut hindu-budha. Sesungguhnya sholat itu bukan sembah tetapi sholat itu ialah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang bermaksud, “Apabila seseorang kamu sedang sholat sesungguhnya dia sedang berbicara dengan Tuhannya…”.

Si pemuda semakin tertunduk.
“Jadi, adakah kamu sudah faham mengapa sang ulama hakikat itu berkata bahwa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram?”
“Ya tuan guru, sekarang barulah jelas.”

“Yang kedua, orang-orang syariat mempelajari ilmu-ilmu hukum maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan hukum sementara orang-orang hakikat mempelajari ilmu-ilmu ma’rifatullah maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan Allah.”

Ketika ini lamunan si pemuda menyorot kembali peristiwa yang telah berlaku dimana kata-kata guru tasawuf itu ada benarnya juga. Memang benar sang ulama syariat telah menyelesaikan masalah yang berlaku dengan hukuman mati terhadap sang ulama hakikat sedang sang ulama hakikat menyelesaikan masalah antara dia dan si pemuda itu dengan kemaafan sesuai dengan sifat tuhan yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.

“Adapun persoalanmu tentang kenapa ilmu hakikat tidak berkembang-luas maka akan aku jawab seperti berikut. Tidak berkembang-luasnya ilmu hakikat adalah disebabkan masih adanya orang-orang yang seperti kamu!”

Bentak sang guru tasawuf yang membuatkan darah si pemuda berderau.
“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Karena kejahilan kamu dalam memahami hal-ihwal hakikat terus saja kamu tanpa usul periksa menghukum sang ulama hakikat sebagai tidak betul dan berburuk sangka terhadap beliau lalu kamu memfitnah  beliau dihadapan sang ulama syariat sehingga sang ulama hakikat tertangkap lalu disiksa dan dipancung oleh kalian. Jika semua ulama hakikat sewenang-wenangnya dibunuh tanpa usul periksa justeru karena itulah ilmu hakikat tidak berkembang-luas.”

“Tapi tuan guru, bagaimana saya tidak terkhilaf sedang akhlak sang ulama hakikat itu tidak mencerminkan beliau sebagai orang yang beragama! Sang ulama hakikat langsung tidak menjemputku masuk ke dalam rumahnya yang besar lagi mewah itu dan langsung tidak memberiku walau setitik air bahkan dengan dirinya saja pun amat kedekut. Lihat saja pakaiannya yang lusuh itu.”

“Awas lidahmu dalam berkata-kata wahai anak muda! Telahku katakan tadi bahwa kamu memiliki sifat buruk sangka. Ketahuilah bahwa rumah besar lagi mewah yang kamu lihat itu bukanlah milik sang ulama hakikat tersebut sebaliknya adalah milik majikan beliau dan beliau hanya mengambil upah sebagai tukang kebun disitu. Adapun pakaiannya yang lusuh itu maka itu sajalah harta benda yang beliau ada dan beliau hidup hanya untuk mengabdikan dirinya kepada Allah.”

“Bagaimana tuan guru bisa tahu segala yang terperinci tentang sang ulama hakikat itu?”
Tanya si pemuda heran.
“Karena orang yang kalian bunuh itu adalah guru tasawufku maka dengan itu sebutir lagi permata yang indah telah hilang. Telahku jawab semua persoalanmu maka pergilah kamu kepangkuan guru syariatmu yaitu sang ulama syariat.”

Si pemuda itu terkejut lantas berkata…
“Tapi wahai guruku, aku telah insaf dan ingin kembali berguru denganmu wahai guruku.. terimalah aku kembali wahai guruku!!”
“Ketahuilah wahai anak muda, aku enggan mengambilmu adalah semata-mata karena keselamatanmu dan bukan karena aku membencimu.”
“Aku tidak faham akan maksud tuan guru??”

“Pergi sajalah kembali kepangkuan sang ulama syariat karena kamu akan selamat disana dan jangan kamu sesekali mengaku aku adalah gurumu kelak kamu akan mengerti akan maksud tindakanku ini.”

Dengan hati yang berat dan sayu si pemuda berjalan menuju ke rumah sang ulama syariat untuk berguru dengannya dan beliau diterima sebagai murid. Selang beberapa hari, keadaan kampung tiba-tiba heboh kembali. Terdengar kabar seorang lagi pengamal ilmu sesat telah ditangkap dan kali ini pengamal ajaran sesat itu berasal dari kampung sebelah. Dari kejauhan kelihatan berbondong-bondong orang ramai sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sang ulama syariat sambil mengusung seorang lelaki yang telah dikenal pasti sebagai pengamal atau guru ajaran sesat. Dari jauh si pemuda dapat menyaksikan lelaki itu dipukul dan ditendang malah ada yang membalingnya dengan batu-batu kecil sehingga pakaiannya koyak-rabak. Rupa-rupanya lelaki yang pakaiannya telah koyak-rabak itu adalah sang guru tasawufnya.

Maka mengertilah si pemuda itu akan maksud tindakan sang guru tasawuf yang tidak mau mengambil beliau sebagai anak murid dan beliau hanya mampu mengalirkan air mata sambil menahan tangis melihat sang guru tasawuf itu diperlakukan seperti itu. Esoknya hukuman pancung terhadap sang guru tasawuf itu dilaksanakan maka sebutir lagi permata yang indah telah hilang sirna dari negeri itu……… Didalam hati si pemuda merintih..

“Ya Allah.. berapa ramaikah lagi ahli tasawuf yang mesti dikorbankan semata-mata mau membuatkan aku mengerti mengapa ilmu hakikat tidak dapat berkembang-luas? Cukup Ya Allah cukup karena sekarang aku sudah mengerti….”

(Sumber : http://www.sepohonjadi.com/v1/2010/02/04/permata-yang-indah/  (dengan sedikit  diedit dalam ejaan tanpa mengurangi makna)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar